Simpang Masa: Sebuah Catatan Kebahasaan

Catatan-Catatan Bahasa Film Simpang Masa

oleh Subiyanto – Sutradara dan Penulis Skenario SM

Untuk teman-teman Sraddha Sala, saya ingin bercerita bagaimana penggunaan Bahasa Jawa dalam film ‘Simpang Masa’ mempengaruhi bagaimana seni peran, bahasa sinematik, dan idiom-idiom yang diciptakan. Film Simpang Masa diproduksi sebagai prasyarat kelulusan program penciptaan seni, S2 ISI Surakarta pada 2021 memiliki durasi 90 menit, menggunakan bahasa Jawa Krama dan Ngoko yang mungkin digunakan oleh kalangan aristokrat atas Jawa sekitar tahun 1860-an, dipenuhi dialog, menggunakan dua lokasi dan 3 karakter utama. 

Simpang Masa (SM) bermula dari ide sederhana bagaimana tiga tokoh sejarah Jawa abad XIX merespon keadaan sosial atau zaman ketika mereka hidup. Abad XIX adalah abad yang sulit bagi pulau Jawa khususnya orang Jawa[i]. Abad yang penuh gejolak, terutama bagi penduduk Jawa yang baru saja selamat dari konflik dahsyat yang dikenal sebagai Perang Jawa[ii] (1825-1830). Setelah Perang Jawa berakhir, Jawa memasuki tatanan baru, kekuasaan kolonial Hindia Belanda mengontrol wilayah Vorstenlanden  (Surakarta dan Yogyakarta) dengan lebih leluasa. Dengan kondisi seperti itu hadirlah sosok Raden Ngabehi (R.Ng.)Ronggowarsito[iii] (1802-1873), Mangkunegara IV[iv] (1811-1881), dan Raden Saleh (sekitar 1811-1880). Keberadaan ketiga tokoh tersebut sungguh menarik dalam peta intelektual Jawa. Mereka bertiga bisa disebut sebagai intelektual/jenius Jawa ataupun seniman Jawa. Mereka hidup pada masa ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat berkuasa, karena itu sangat mencampuri urusan rumah tangga keraton-keraton di Jawa, khususnya keraton-keraton bekas taklukan Kerajaan Mataram. Ketiga tokoh tersebut mengalami transisi zaman dari tatanan Jawa lama ke tatanan Jawa ‘baru’ sekaligus era ‘modern’, ketika ide-ide dan hal-hal baru tumbuh subur di Jawa pada saat itu.

Pertemuan

Muncul pertanyaan, bagaimana ketiga tokoh tersebut bisa bertemu sementara belum ada data sejarah yang mencatat ketiganya bertemu secara bersama-sama? Sebagai film fiksi, sah-sah saja menghadirkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, tergantung bagaimana sineas menciptakan semesta dan logika baru dalam film garapanya. Seperti film Inglourious Basterds arahan sutradara Quentin Tarantino, yang mengisahkan Hitler dibunuh di gedung bioskop di Prancis, yang tentunya jauh dari sejarah yang tercatat. Tetapi SM tidak beranjak sejauh itu, pertemuan ketiga tokoh memang tidak tercatat dalam sejarah, tetapi ada data-data sejarah yang membuat kita bisa mengimajinasikan pertemuan tersebut, karena ada persimpangan waktu, ruang dan kepentingan dari ketiganya.

Pertemuan imajiner dibuat seolah-olah terjadi pada tahun 1866. Antara tahun 1865 dan 1868, Raden Saleh mengunjungi Yogyakarta sebanyak dua kali (Kraus & Irina Vogelsang, 2018, 144). Kunjungan ke Yogyakarta ini membuka kemungkinan Raden Saleh juga mengunjungi Surakarta (Werner Kraus, wawancara, 14 Oktober 2019). Keterhubungan ketiga tokoh tersebut adalah sebagai berikut.

a.  Raden Saleh bertemu dengan saudara sepupu laki-laki Ronggowarsito, Raden Ngabehi Poespowilogo di Den Haag pada 1837 yang sedang bekerja membantu Perkumpulan Injil Belanda membuat huruf cetak Bahasa Jawa dengan mengecor logam; huruf cetak yang menjadi landasan pembuatan injil (Kraus & Irina Vogelsang, 2018, 130-131).

b.  Raden Saleh pernah melukis saudara perempuan Ronggowarsito, Raden Ayu Muning Kasari[v] (Kraus & Irina Vogelsang, 2018, 374)

c.  Paman sekaligus ayah angkat Raden Saleh, Bupati Semarang Suro-adimenggolo V beristrikan Ratu Angger yang tidak lain adalah putri bungsu dari Mangkunegoro I (Peter Carey, wawancara, 13 Juni 2020).

d.   Mangkunegoro IV dan Ronggowarsito menetap di Surakarta. Mangkunegoro IV sebelum bertahta sudah memiliki hubungan dengan Ronggowarsito. Kemahiran Mangkunegoro IV dalam sastra Jawa terpengaruh oleh sastra Ronggowarsito (Kamajaya, 1980, 24). Ronggowarsito dan Mangkunegoro IV berkolaborasi dalam menulis Serat Paramayoga (digubah kira-kira 1861) dan Serat Pustakaraja (Ricklefs, 2018, 105-106).

e.   Pada 1831, didirikan Instituut voor de Javaansche taal te Soerakarta, institut penelitian Bahasa Jawa di Surakarta (yang bertahan sampai 1842) yang diurus oleh Dr. J.F.C Gericke (1798-1857) dan C.F Winter (1800-1859). Dalam hal ini, Mangkunegoro IV dan Ronggowarsito berhubungan baik dengan C.F Winter (Tsuchiya, 2019, 103).

Bahasa

Draft awal Skenario SM menggunakan Bahasa Indonesia dan disaat bersamaan  dibuat terjemahan skenario ke dalam Bahasa Jawa. Penerjemahan dilakukan oleh Bayun Marsiwi Permata dan Aji Bagianana Mulia, keduanya adalah pustakawan Rekso Pustoko Mangkunegaran dan lulusan sastra Jawa Universitas Sebelas Maret (UNS). Hasil terjemahan dari penerjemah utama   selanjutnya disupervisi oleh Drs. K.R.T. Supardjo Hadinagoro, M.Hum,  dosen sastra Jawa Universitas Sebelas Maret (UNS). Skenario berbahasa Jawa inilah yang menjadi skenario final untuk SM.

Keputusan menggunakan bahasa Jawa tidak ditentukan sedari awal, karena proses yang membuat akhirnya memakai bahasa Jawa. Sebelumnya perlu dipastikan kepada para aktor bahwa penggunaan bahasa Jawa lebih cocok dan mampu dilatih dengan sisa waktu yang dipunyai hingga hari syuting yang telah ditetapkan. Sadar dengan tantangan yang akan dihadapi para aktor, kami mempersiapkan workshop untuk mendalami skenario sekaligus memutuskan bahasa apa yang akan digunakan. Workshop difokuskan pada pemahaman skenario, konteks cerita, dan karakter. Awalnya workshop menggunakan skenario berbahasa Indonesia, proses reading-nya berjalan lancar, cepat, tetapi kami tidak bisa merasakan kedekatan dengan zaman dan sosok yang kami angkat dalam SM. Pada pertengahan workshop, skenario yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa mulai diberikan ke aktor, lalu dicoba untuk dibaca. Dalam menerjemahkan skenario dari Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Jawa, penerjemah mengambil serat-serat kumpulan ndalem KGPAA Mangkunegara IV sebagai rujukan tata bahasa, dan kamus Bausastra Jawa karangan Poerwadarminta, W.J.S. dkk (tahun 1939) sebagai panduan penerjemahan setiap kosa kata. Ketika aktor mulai membaca skenario berbahasa Jawa, semua merasakan bahwa Bahasa Jawa lebih cocok untuk film ini. Meskipun begitu semua sadar bahwa penggunaan Bahasa Jawa krama dan ngoko yang kemungkinan dipakai pada rentang tahun 1866 bukan hal yang mudah, menghadirkan tembok tantangan yang tinggi dengan waktu persiapan yang hanya tersisa satu bulan. Semua aktor cenderung menghendaki menggunakan Bahasa Jawa, tetapi tetap ditawarkan ke para aktor apakah akan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia, karena intensitas kerja para aktor akan berlipat tiga kali jika menggunakan Bahasa Jawa. Akhirnya semua sepakat untuk menggunakan bahasa Jawa dengan segala konsekuensinya.

 

Seni Peran

Pemilihan aktor diadakan sebelum workshop. Setelah melakukan casting terpilih tiga aktor utama sesuai dengan kriteria utama, yaitu: kemiripan dan kualitas keaktoran. Ketiga aktor yang terpilih adalah: Sosiawan Leak yang memerankan Raden Saleh, Turah Hananto sebagai Mangkunegoro IV, dan Yustinus Popo sebagai Ronggowarsito. Ketiganya adalah aktor teater di Surakarta.

Skenario menggunakan Bahasa Jawa membuat aktor harus bekerja lebih keras. Jadwal latihan yang sebelumnya dijadwalkan 2 minggu sekali dalam sebulan sebelum syuting dirasa tidak cukup. Untuk itu para aktor menambah jadwal latihan menjadi tiga kali seminggu bahkan ketika jadwal syuting tersisa dua pekan, para aktor hampir berlatih tiap hari untuk menghafal skenario bersama, mematangkan acting, karakter, dan blocking.

Pemilihan Bahasa Jawa memberikan tantangan tersendiri, yaitu bagaimana Bahasa Jawa diangkat sebagai dialog dalam sebuah film. Acuan penggunaan Bahasa Jawa dalam seni peran yang dipunyai para aktor terpilih, umumnya adalah pengucapan yang biasa digunakan dalam drama ketoprak maupun wayang wong. Padahal yang ingin dicapai dalam SM bukanlah teknik dialog seperti dalam ketoprak ataupun wayang wong. Pada awal latihan, para aktor lebih banyak menggunakan gaya pengucapan seperti dalam ketoprak, dengan suara lantang dan penekanan pada akhir kalimat. Oleh karena itu, perlu kerja extra untuk mengingatkan  para aktor untuk tidak memakai gaya dialog ketoprak ataupun wayang wong. Ketika suara meninggi, aktor harus diingatkan terus menerus dengan menurunkan tangan yang menandakan tempo dan volume perlu diturunkan. Dialog dan pengucapan yang ingin dicapai adalah penggunaan bahasa Jawa yang realis seperti halnya dalam percakapan sehari-hari, memang membuat terkesan lirih dan kurang greget. Bahasa juga telah membentuk olah peran para akot, bagaimana para aktor harus berjalan, duduk, dan bahkan bernafas.

Pemilihan bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mungkin dipakai sekitar tahun 1866, yang membuat para aktor harus mempelajari banyak kosakata baru. Banyak kata yang digunakan dalam skenario, saat ini sudah jarang sekali digunakan, dan juga banyak kata yang pelafalannya sudah berevolusi, berbeda dengan pelafalan saat ini. Untuk mendapatkan pelafalan yang benar, para aktor dibantu oleh Drs. K.R.T. Supardjo Hadinagoro, M.Hum (Pak Parjo). Awalnya Pak Parjo hanya membantu sebagai supervisi penerjemahan skenario ke dalam Bahasa Jawa, tetapi ketika mendapatkan rekaman proses latihan, Pak Parjo menemukan kesalahan pelafalan. Sebagai ahli sastra Jawa beliau tergoda untuk membantu para aktor mengoreksi setiap pelafalan kata, Pak Parjo pun ikut bergabung saat aktor berlatih.

Penggunaan bahasa Jawa, tidak dalam bahasa Indonesia maupun Belanda menjadi proses yang menarik. Bahasa Jawa Krama yang halus awalnya seperti tidak cocok untuk membangun dramatik sesuai keilmuan dramaturgi yang penulis pelajari. Bagaimana penggunaan bahasa Jawa bisa masuk dalam bingkai sinematik, bukan bingkai panggung. Penulis berjumpa dengan beberapa hal yang membuat berani menggunakan bahasa Jawa. Pertama, proses membuat film SM adalah saat dimana penulis mulai berjumpa dengan sastra Jawa terutama karangan Ranggawarsita dan keluarganya yang bisa diakses di perpustakaan ISI Surakarta. Dari situ penulis menemukan keindahan sekaligus mata air pengetahuan Jawa; Kedua, dibalik kehalusan bahasa Jawa, yang seakan membuat sedikit sekali kesempatan mengumpat atau berkata kasar saat menggunakan bahasa Jawa krama, disaat yang sama terdapat jejak kekerasan sekaligus kekejaman dalam sejarah Jawa. Ketika perang terjadi, tak sedikit orang Jawa akan memenggal kepala lawan lalu menancapkannya dengan tombak dan memasangnya di depan benteng. Memotong telinga semua lawan lalu memakannya dan lain sebagainya. Bagaimana bahasa yang begitu halus bisa berjalan lurus dengan kekejaman yang begitu dahsyat. Ketiga, dalam talkshow yang diakses di youtube[vi] dengan pembicara penyair Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma, Sapardi mengatakan bahwa tahun 50-an di Solo masih digunakan bahasa Jawa krama. Sapardi sampai SMA belum bisa berbicara lancar menggunakan bahasa Indonesia, karena di sekolahnya saat itu semua pelajaran disampaikan dengan bahasa Jawa meskipun yang diajarkan adalah bahasa Indonesia.

Produksi

SM tidak memiliki budget produksi yang besar karena memang ini diperuntukkan untuk kelulusan di Pascasarjana ISI Surakarta. Nilai produksi tentunya akan menentukan pilihan estetik dan teknis yang digunakan. Budget yang kita miliki hanya memungkinkan untuk memiliki empat hari syuting, dengan rincian tiga hari syuting indoor di kediaman Mangkunegara IV dan satu hari syuting outdoor di hutan.

Lalu muncul pertanyaan dengan sumber daya yang ada bagaimana membuat film berdurasi 90 menit. Pertama dimulai dari skenario karena konteks, konsepnya menekankan pada dialog memungkinkan sekali membuat film 90 menit dengan penuh dialog. Akhir-akhir ini kita menemukan banyak podcast, disitu orang-orang berbincang dengan durasi 30 menit hingga dua jam, jadi kita andaikan SM semacam podcast. Tentu secara estetis kami tidak ingin SM seperti podcast yang kebanyakan hanya duduk saja. Nilai produksi, waktu syuting yang dimiliki, dan penggunaan skenario berbahasa Jawa membuat penulis harus menyesuaikan jumlah shot. Berpikirnya sederhana saja kalau kami membuat shot dengan durasi 8-9 menit berjumlah 11 shot kami akan memiliki film dengan durasi 90 menit. Rencana awalnya memang seperti itu menggunakan 11 shot. Akan tetapi, dengan skenario berbahasa Jawa yang tempo pelafalannya lebih lambat, maka jumlah shot bertambah menjadi 22 shot. Penambahan jumlah shot ini juga untuk mempermudah aktor dalam melakukan hafalan dan latihan. Jumlah shot yang tidak banyak juga akan menghemat waktu syuting. Tantangan bagi aktor karena bahasa yang digunakan dan waktu syuting yang dipunya adalah hanya diberikan tiga kali pengambilan gambar untuk setiap shot kalau lebih dari itu waktu yang dipunyai akan tidak cukup dan pengambilan lebih tiga kali akan membuat hafalan dan konsentrasi aktor berkurang.

Penutup

Film Simpang Masa selesai diproduksi (tentu dengan berbagai kekurangan dan catatan), lolos dari ujian di ISI Surakarta, lalu bertemu dengan khalayak umum di beberapa kesempatan pemutaran. Dari sini terpikir tentang bagaimana bahasa Jawa dan idiomnya dialirkan dalam sinema. Idiom kemarahan/kesenangan/kesedihan manusia urban di Jakarta tentu berbeda dengan kemarahan/kesenangan/kesedihan dalam film James Bond, pun berbeda dengan manusia Jawa masa lalu maupun saat ini. Akan menarik untuk mengeksplorasi kemungkinan penggunaan bahasa, idiom, gerak tubuh “Jawa” dalam sinema. Kemarahan manusia Jawa yang mungkin sangat tidak sesuai dengan ilmu dramatik atau bahasa sinema pada umumnya, agar mampu dipahami oleh manusia dari berbagai kebudayaan melalui sinema. 

catatan kaki:


[i] Jawa yang dimaksud di sini adalah pulau Jawa terutama yang penduduknya menggunakan Bahasa Jawa.

[ii] Selama perang terjadi, 200.000 penduduk Jawa tewas, dan dua juta (separuh total penduduk) Jawa Tengah dan Jawa Timur terdampak Perang. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. (M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 257)

[iii] Ronggowarsito yang dimaksud disini adalah Raden Ng. Ronggowarsito III yang semasa kecil bernama Bagus Burhan, Kakek buyutnya adalah Yosodipuro 1 (1729-1803), Kakeknya adalah Yosodipuro II (meninggal 1844) yang juga menggunakan gelar Ronggowarsito I, lalu bapaknya RM. Ng Panjangswara yang menggunakan gelar Ronggowarsito II. Sejatinya Ronggowarsito adalah gelar dari Kasunanan Surakarta untuk pujangga keraton. Selanjutnya hanya digunakan Ronggowarsito.

[iv] Mangkunegoro IV bertahta 1853-1881, semasa kecil bernama Raden Mas Sudiro, setelah diangkat menjadi Pangeran namanya berubah menjadi KPH Gandakusumo.

[v] Pada 2012, lukisan ini dipamerkan pada pameran monograf bertajuk “Raden Saleh, Pelopor seni lukis Indonesia”. Tetapi saat ini (2020) lukisan ini disaksikan keasliannya karena tidak adanya paraf Raden Saleh pada lukisan. Werner Kraus selaku kurator pada pameran tersebut, meralat keterangan tentang subyek lukisan “Saya yakin lukisan tersebut adalah lukisan Raden Saleh, tetapi saya tidak yakin bahwa subjek dalam lukisan tersebut adalah adik perempuan Ranggawarsita, ketika lukisan itu pertama kali saya lihat seseorang mengatakan bahwa itu saudara perempuan Ronggowarsito, Raden Ayu Muning Kasari (Werner Kraus, Wawancara, 19 April 2024) .

Penulis ditunjukkan foto dari lukisan tersebut sebelum di restorasi, kain beludru yang dipakai subyek lukisan begitu detail, sementara lukisan hasil restorasi merusak detail keindahan tersebut.

Simpang Masa: Sebuah Catatan Kebahasaan
Tagged on:                     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *