Serat Tatacara Sukowati

Serat Tatacara Sukowati

Bulan Sura tahun 1857 Jawa atau Agustus 1926 Masehi, Bupati Sragen, K.R.M.T Panji Sumanagara rampung menulis serat Tatacara Mantu ing Sukawati Digunakan untuk bahan ajar A.M.S (Algemeene Middelbare School Surakarta, atas saran Dr. Pigeaud. Manuskrip asli tulisan tangan ini kemudian disimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia. September 1926, tulisan ini kemudian diterbitkan di Majalah Pusaka Jawi dikelola Java Instituut .
Dalam serat tatacara Sukawati, diceritakan ada pernikahan keluarga Demang Kertayuda di Kademangan Singgih dan Lurah Kertayuda di desa Jati Tengah.

Tatacara mantu Sukawati, terdiri dari banyak rangkaian acara diantaranya adalah nyongkog, nontoni, ningseti, sadeyan dhawet, majang tarub, klothekan, nyantri, midodareni, sampai dengan panggih dan ngundhuh mantu.

Mencari Tuhan pada Masa Jawa Kuna

Mencari Tuhan pada Masa Jawa Kuna

manuk asukha-sukhan muṅgwing pang rãmya masahuran kadi papupul i saṅ wriṅ tattwādhyātmika maceṅil —
burung-burung riang gembira di atas ranting pohon, ramai bersahutan seperti perdebatan para cendekiawan untuk mencari kebenaran esoteris (tattwādhyātmika), begitu tulis Pu Tan Akung dalam teks śiwarātrikalpa.
— bahwa kebenaran dicari melalui penelusuran teks, tentu juga mencakup studi filologi adalah bagian dari pencapaian Hyang Widdhi melalui jalan Tantra.

Panji Dalam Tradisi Sastra dan Ruang Arkeologis

Panji Dalam Tradisi Sastra dan Ruang Arkeologis

Panji, yang juga menjadi sastra rakyat, turut hadir dalam dongeng, folklore, hingga seni pertunjukan. Dongeng popular yang memuat cerita Panji misalnya Andhe-Andhe Lumut, Keong Mas, Cindelaras Enthit, Arumsari, dan Brambang Bawang. Adapun folklore yang memuat cerita Panji misalnya folklore goa Selomangleng di Kediri, Sedangkan Panji dalam seni pertunjukan bisa dilihat dalam wayang gedhog, wayang beber, dan tari topeng. Naskah-naskah Panji juga tersimpan di pelbagai penyimpanan naskah-naskah di luar negeri.

Membincang Raden Saleh: Menghormati Tuhan Mencintai Manusia

Membincang Raden Saleh: Menghormati Tuhan Mencintai Manusia

Sejak lahir, Raden saleh menjadi “Manusia di Antara”, lahir dari keturunan Arab-Jawa, hidup di antara Kebudayaan Sunda, Jawa, dan tentu Eropa. Seperti ucapan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing “Cina wurung, Jawa Nanggung, Landa Durung”. Tentu kehidupan demikian sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan, pemikiran, dan kekaryaan Raden Saleh. Dalam Program Diskusi #SakMadya 2 ini kita membahas bagaimana kehidupan Raden Saleh, kehidupan dan karyanya.