Bakdan dan Pareden

Bakdan dan Pareden

oleh Rendra Agusta

Syawal tanggal dua saya kembali ke Merbabu, selepas bakdan dengan kerabat di kota, saya kembali ke desa. Saya menginap semalam di kampung paling ujung, yang berbatasan langsung dengan hutan.

Saat bangun tidur cuaca sangat cerah, di belakang rumah terhampar pemandangan desa-kota yang seolah rumpun tinggalnya dibatasi dua gunung, di kanan dan kiri. Merenung serba cepat, saya berpikir akrab dengan hal demikian, yah! Pakeliran wayang kulit.

Bagi masyarakat Jawa pergelaran wayang kulit adalah salah satu ruang komunal yang menyimpan segala lingkup hidup. Pagi itu saya seperti melihat pakeliran wayang. Ada dua gunungan atau parědèn yang membatasi ruang dan waktu. Secara tradisional, agaknya memang gunung menjadi batasan kultural satu wilayah dengan wilayah yang lain. Pagi itu saya berada di pertemuan tiga kawasan kultural, Mataraman, Kedhu, dan Semarangan.

Di antara dua gunung itu, saya melihat pemukiman warga, desa, kampung, kota, yang pasti sebenarnya saya juga melihat sebuah bangsa. Seperti pewayangan, di antara dua gunungan itu ada lakon manusia. Sangat antroposentrisme memang, tetapi agaknya memang pandangan kebudayaan dunia sedang demikian. Di antara dua gunung, manusia lengkap dengan masalah hidup, suka-cita, duka-lara, pun juga rahasia-rahasia. Rahasia yang mereka simpan sampai mati hingga dikubur di palemahan atau rahasia yang hanya diketahui oleh dia dan Tuhan. Demikian hidup harus berjalan.

Saya pikir, saya sendiri juga seperti penonton pagelaran wayang. Melihat sengkarut manusia di hadapan saya dari kejauhan, kadang-kadang hanya terdengar bisik-bisik suara aja, atau sekedar debaran rasa dari bising dentam Cempala. Saya pun sebenarnya juga menjalani lakon saya sendiri.

Seperti kisah pewayangan, kita hanya mampu bercerita, mengingat cerita, baik dan buruk, suka dan duka, pesta dan cintanya. Wayang-wayang yang sudah mati dalam pementasan akan kembali ke kotak, menanti dihidupkan lagi. Sedangkan para penonton akan menjadi pencerita dalam universe yang lain, tentang “wayangan” dan “walulang”.

Mau membuat cerita apa? Yang akan luber dalam setiap lebaran? Dimulai dari diri kita sendiri, bukan nama-nama besar leluhur kita. Barangkali kisah-kisah besar leluhur, hanya soal pewarisan cerita yang baik dan megah saja. Barangkali seperti wayang, leluhur kita juga punya bayangan gelap, yang hanya bisa dilihat dari sisi kain kelir yang lain.

Demikianlah hukum menanam dalam “mendhem jero” dan menjunjung tinggi “mikul dhuwur” sebuah nama tokoh berdampak dalam cerita-cerita kita.

Dalang, imaji penonton, dan lakon wayang punya universe yang berbeda. Mungkin manusia satu dan lainnya juga sama halnya, semua punya laku lakon-nya masing-masing, yang pasti tak serupa. Kesamaannya, Dalang, Penonton, dan Wayang akan kembali pada kematian, kembali ke dalam kotak masing-masing, kenal dalam ingatan sebuah nama.

Nama yang hanya bentukan fonem, dan atau hanya susunan vokal-konsonan, menjadi satu titik awal dan akhir ingatan manusia. Tancep kayon.

Bakdan dan Pareden

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *