
Tawaran Lain Dunia Filologi Indonesia

Tema reaktualisasi hal-hal yang dianggap kuno memang sedang trend di masyarakat. Jagat dunia filologi tak luput dari gelombang tersebut. Dekade ini, banyak forum yang mencoba membuka kembali kotak-kotak lama ‘naskah’ dan ‘cerita lama’, namun persoalannya beberapa forum hanya sekedar mengelap-ngelap kembali khasanah lama ketika sedikit lainya mulai menempuh jalan yang berbeda.
Dalam seminar di forum Sarasehan Imbasadi (Ikatan Mahasiswa Sastra dan Bahasa Daerah Se- Indonesia) 2023 yang dihelat di UNNES Rabu lalu (31/5/2023), Sraddha Sala melalui salah satu cantriknya, Rendra Agusta, memberikan beberapa tawaran pada studi filologi—yang memang sunyi itu.
Tawaran-tawaran yang muncul dari pemaparan Rendra Agusta bukan sekadar obrolan angkringan. Seperti beberapa tokoh senior yang sudah berkecimpung di dalam dunia filologi telah memulainya terlebih dulu. Rendra mengutip perkataan Sudibyo dan Ben Arps terkait stagnasi kajian filologi. Harus ada upaya-upaya segar agar muncul kebaruan wujud realitas budaya yang berpijak pada artefak lama.
Dalam forum yang sama, Widodo, juga mempertegas bahwa tradisi filologi di kampus Indonesia saat ini masih bergaya filolog era ‘80-an. Kajian filologis yang hanya berkutat pada ruangan sempit naskah dan alih aksara semata.
Tawaran pertama Rendra, setiap peneliti harus meningkatkan kemampuannya dalam menguasai teknologi mutakhir. Pengkajian filologi hari ini sudah ada yang memakai program TEI (Text Encoding Initiative) atau pengenalan teks dan korpus naskah melalui penjalanan coding berbasis XML.Teknologi ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, namun dalam kajian filologis baru hari-hari ini dipakai. Salah satunya dikerjakan Dharma Hypotheses pada tahun 2019, dengan konsep kerja yang hampir sama dengan Google Lens atau scanner yang dapat dengan mudah mengenali aksara yang difoto. Upaya digital lainnya ialah pendaftaran Unicode aksara-aksara di Nusantara. Di mana masyarakat pengguna aksara daerah lebih gampang menuliskannya pada piranti komputer. Dua hal tersebut merupakan contoh wujud berkembangnya digital humanities dalam budaya filologi di dunia.
Tawaran Kedua selanjutnya berupa paradigma cultural studies (bukan study of culture) sebagai opsi melihat kebudayaan dengan lebih luas. Kebudayaan yang dijadikan objek tidak melulu harus adiluhung dan dicap budaya tinggi. Cultural Studies mengajak para peneliti melihat kebudayaan lebih luas, selain kebudayaan yang dianggap adiluhung tadi, diluar sana lebih banyak kebudayaan yang banal, profan, atau bersifat sehari-hari yang kadang kala luput dari amatan para peneliti.
Tawaran ketiga, kajian filologi dapat menjangkau sektor kreatif.
Meski industri kreatif yang bersinggungan dengan khasanah filologi sudah banyak berkembang, seperti halnya produksi kaos, totebag, dan buku-buku anak, akan tetapi inovasi masih sangat dapat dikembangkan baik dalam bentuk fisik maupun digital.
Studi mitigasi kebencanaan juga dimasukkan oleh Rendra Agusta dalam forum tersebut. Mengingat Indonesia masuk kepulauan Cincin Api, sebuah sirkum vulkanologi dunia dimana pergerakan lempeng membuat negeri ini rawan bencana. Upaya-upaya mitigasi bencana yang bersumber dari catatan-catatan lampau dapat lakukan oleh para peneliti dan masyarakat sebagai salah satu kajian responsif dari sudut pandang tradisi historis.
Living Philology menjadi tawaran penutup oleh Rendra. Ia menyadari betul ada jarak yang sangat jauh antara filolog dan masyarakat. Jarak yang tidak hanya nama pohon, namun jarak yang benar-benar menjadi pagar tebal penghalang. Banyak filolog yang sibuk berkutat dalam meja-meja perpustakaan dan lupa pada masyarakat yang telah menghasilkan sebuah artefak bahan penelitian.
Lewat tawaran-tawaran tersebut Rendra seperti menyiratkan bahwa di masa depan geliat perubahan dalam dunia filologi akan semakin banyak. Widodo menegaskan bahwa masih banyaknya lini lain dan kapital intelektual lain yang harus ditampakkan.
Dunia filologi memang sudah mulai melihatkan perubahan dan perkembangan, dan para manusia-manusia yang ‘mencintai kata’ juga harus ikut berubah, jika tak ingin punah. Seperti konsep dasar evolusi, tiada yang kekal, keabadian itu milik perubahan itu sendiri. (SH)