
Misteri Aksara Rě dan Lě:
oleh Rendra Agusta
Setidaknya sejak sebelum sekolah, ketika saya mulai mengenal aksara Jawa baru selalu bertanya, mengapa aksara “rĕ” ditulis dengan “pa cěrěk” pun juga “lě” ditulis dengan “nga lělět”? Jawabannya tidak mudah bukan?
Beberapa hari lalu, soal “rě” dan “lě” ini kembali menjadi bahasan perdebatan di sosial media. — Salah satu pendapat tentu lahir dari bapak Wijotoharjo, redaktur majalah Panjebar Semangat. Bahwa “ra” adalah rasa, yang tidak boleh di‐”pěpět” atau ditutupi. Sedangkan pendapat lain, “la” berarti “lawang” yang berarti pintu. Pendapat ini saya pikir lahir lebih lama dari paparan pak Wijoto karena sebagian komunitas juga memiliki pendapat yang sama.
Temuan
Upaya pencarian itu mungkin sudah banyak dicoba oleh para paleograf. Setidaknya, ketika saya mencoba mencarinya dalam dokumen digital Kern Institute, jelas sekali ditemukan penggunaan rě dengan dua versi yang sekarang dipertentangkan akan standarisasi penulisan. Faktanya justru kita menemukan kedua penggunaan “ra dipěpět” dan “pa cěrěk” juga.
Sekali lagi, data di masa lampau, memberi kita gambaran bahwa konsesi penulisan aksara Jawa bisa saja sesuai, ada juga varian, pun kesalahan. Ketiganya hadir dalam kajian-kajian kita hari ini.
Apakah masih mau berdebat? Atau sekedar bersandar pada “jarene“? Saya suka kawan-kawan tak percaya dengan data ini agar kawan-kawan mau mencarinya sendiri. Selamat berburu di data digital, bandingkan prasasti dan manuskrip, maka kita akan menemukan keduanya. 🔥

Ra pepet terdapat di naskah/prasasti apa min?