
Senja, Candi, dan Bayangmu:
Sebuah Catatan “Remah Roti dan Jalan sunyi” Filoarkeologi[i]
Oleh
Rendra Agusta[ii]
… sande jabuṅ, sampun surup prabaṅkara amasaṅ sanda.
Senja kemerahan, sudah petang, sang Pelukis memasang lentera.
(Pararaton XV:20)
Senja, kopi, dan musik indie, adalah salah satu algoritma paling banyak ditangkap oleh generasi milenial. Sebuah generasi yang disebut William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan istilah ini tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000. Pendapat lain menurut Elwood Carlson dalam bukunya yang berjudul The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1983 sampai dengan 2001. Jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000.
Ruang dan waktu tentunya secara alamiah akan membuat jarak terhadap minat, sudah barang tentu bakat yang akan memicu hasrat kecintaan para pengetahuan pada masa lampau. Sebagai contoh, jika larik pertama teks tentang senja pada kutipan di atas tidak ada keterangan artinya, mungkin generasi milenial tidak akan paham isi dari kalimat tersebut. Padahal jika kita paham dan tahu bahasa Jawa Kuna, maka teks-teks lama juga sama indahnya dengan puisi “Dukamu Abadi” karya pak Sapardi atau syair lagu The Rain of Castamere dalam novel Game of Thrones.
Jarak
“Apa yang harus kamu risaukan dengan Jarak? Ah, itu cuma nama pohon”- Pidi Baiq
Jarak dalam dunia kebudayaan tentu bukan hanya nama pohon seperti yang ditulis Pidi Baiq, seorang penulis yang terkenal dengan Dilan 1990- 1991. Dunia kebudayaan tentu sangat lentur dan memiliki perkembangan yang sukar diprediksi. Secara khusus di kebudayaan tradisional, yang lebih sempit lagi dalam hal ini kebudayaan Jawa, tak sulit untuk menemukan fakta-fakta salah cetak kebudayaan. Sebagai contoh, lagu lingsir wengi oleh beberapa generasi milenial dipahami sebagai mantra yang mendatangkan makhluk halus. Padahal jelas sekali bahwa lirik lagu tersebut hanya dibuat untuk kepentingan film, tidak ada sangkut pautnya dengan mantra. Jarak ini tentu juga kita temukan di dunia arkeologi dan filologi. Candi dan dan beberapa bangunan cagar budaya yang usianya lebih dari lima puluh tahun akan terkesan angker dan horor. Tentu itu pandangan yang kurang tepat, candi adalah artefak kebudayaan masa lampau yang menyimpan pengetahuan mendalam akan peradaban luhur leluhur kita. Pengetahuan ini menjadi bias ketika ada beberapa buku yang monumental lahir tanpa riset yang mendalam, misal buku yang Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman dan Kesultanan Majapahit. Hal ini tentu ditambah rumit ketika arus informasi melalui media begitu mudah dicari dengan telepon genggam. Tidak ada yang membatasi bergeraknya arus, tentu hal ini juga berkelindan dengan pertarungan wacana-wacana yang lain seperti agama, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Cara Mencintai
Mencintai dunia masa lampau tentu bukan hal yang mudah, ada jarak masa yang harus kita perpendek dengan pengetahuan bahasa, sastra, sejarah, dan berbagai unsur yang menyertainya. Urusan ini tentu tidak semudah mencintai kembali mantan pacar dengan seonggok kenangan yang menyertainya. Tetapi, mencintai masa lalu tentunya mencintai kenangan. Menyurat yang hilang – menyulam masa sekarang – menggurat yang menjelang, dibutuhkan cara pandang baru bagi generasi milenial untuk memahami budayanya. Pro-kontra, tentang cara pandang generasi milenial tentu sangat berbeda dengan generasi berikutnya. Ketika saya mengetik tagar #candibadut dalam media sosial Instagram, saya menemukan 1.981 kiriman. Ribuan kiriman foto itu tentu jauh lebih menarik daripada sisa tindakan vandal di Lingga bertulis “Pramuka Tjelaket”. Banyak generasi milenial bangga berfoto dengan berbagai gaya, ada pula yang disisipi puisi dan paparan tentang senja. Tentu tindakan sederhana ini tidak luput dari cibiran dan ghibah generasi yang lain, ada yang bilang hanya penikmat permukaan sampai dikatai sok-sokan. Apalagi di sebuah media yang berlogo burung biru “Twitter”.Saling sahut tanpa pemikiran yang panjang, dibatasi 140 karakter. Tetapi semua media itu bagi generasi milenial juga menjadi cara tersendiri mencintai kebudayaan masa lampaunya, seperti persembunyian abadi mengenang mantan. Bukankah sahur manuk juga sudah cukup kita kenal dalam tradisi tutur lisan kita?
Manuk asukha-sukhan mungwiṅ paṅ rāmya masahuran
Kadi papupul i saṅ wriṅ tatwadhyātmika macĕnil
Birds amused themselves among the branches, happily twittering to each other,
Like a meeting of experts in esoteric truth debating together.
(Siwarätrikalpa 6:1)
Remah Roti dan Jalan Sunyi Filoarkeologi
Di sela-sela perdebatan maka saya akan beralih ke ruang yang agak serius dan teoritis. Studi Jawa Kuna selalu terpumpun dengan ilmu-ilmu serumpun. Studi ini terkait dengan berbagai ilmu pendukungnya baik sejarah, linguistik, sastra, filologi, arkeologi, dll. Utamanya dalam studi paleografi, penelitian epigrafi dan filologi pasti akan selalu berkorelasi. Perkembangan aksara di Indonesia melampaui beberapa zaman, mulai dari era kerajaan Tarumanegara hingga masa kini. Aksara sebagai wujud kebudayaan, tentunya tidak bisa dikaji melalui satu sudut pandang keilmuan. Hal ini memungkinkan adanya persinggungan antara studi arkeologi utamanya epigrafi dengan filologi. Pendekatan komperehensif antara epigrafi dengan obyek kajian prasasti dan filologi dengan teks, ini disebut dengan Filoarkeologi (Dwiyanto, 2018, hal. 35). Pandangan tersebut didahului oleh Kempers yang menyatakan bahwa perbedaan kajian epigrafi dan filologi hanya terletak pada objek kajian. Objek kajian arkeologi pada umumnya terletak di dalam tanah, sedangkan kajian filologi berada di atas tanah (Kempers, 1941). Keduanya bertujuan untuk merekontruksi (baik teks maupun bangunan) agar diketahui segala fungsinya dalam bingkai kebudayaan di masa lampau. Maka dengan demikian kajian epigrafi dan filologi sangat dekat hubungannya, sebagai ilmu bantu untuk ilmu lainnya.
Ada beberapa kajian yang membuktikan relasi antara kajian arkeologi dan filologi saling berdampingan antara lain: dalam pembangunan Candi Prambanan, relief Ramayana yang berangkat dari kisah Bhatti-kavya (Zoetmulder, 1994, hal. 290); kisah Tantri (Marijke J. Klokke, 1993 ); cerita Panji (Kieven, 2017), dan beberapa kisah yang lain yang semua diabadikan dalam relief candi-candi di Jawa. Filoarkeologi adalah penelitian dengan perspektif arkeologi terhadap artefak dan naskah, berusaha memperlakukan, mendekripsikan dan menginterpretasikan sebagai teks yang merefleksikan kebudayaan pendukungnya. Hal ini sejalan dengan Pidato Pengukuhan Sulastin Sutrisno (1981) sebagai Guru Besar dalam Ilmu Sastra dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan dengan judul “Relevansi Studi Filologi”. Menurutnya, salah satu bidang ilmu yang relevan dengan filologi adalah arkeologi, terutama karena salah satu pengertian ahli filologi (filolog) adalah ahli purbakala teks melalui huruf, kata-kata, dan kalimat yang ditemukannya.
Ruang filologi dan epigrafi merupakan silangan kebudayaan klasik yang jarak disentuh oleh generasi muda. Hal ini saya buktikan ketika saya berkenalan, saya menyampaikan pekerjaan saya Filolog, mungkin sebagian besar generasi muda tidak tahu akkan pekerjaan tersebut. Sebuah pekerjaan yang sehari-harinya akan mengulik naskah-naskah lama. Pekerjaan sunyi seperti remah-remah roti dan jarang diimpikan oleh generasi muda. Tentu saya masih ingat ketika mengambil jurusan S1 Sastra Jawa, banyak sekali ciutan menghujani saya dengan pertanyaan, utamanya pertanyaan tentang karir di masa depan. Ketika mendekati skripsi, tidak lebih dari 10% saja yang mengambil konsentrasi filologi, selain mahal konsentrasi ini juga terkenal lulus tidak tepat waktu (8 semester). Saat ini, saya sudah meninggalkan dunia kampus selama lima tahun, dan terbukti benar, memang lowongan pekerjaan (apalagi ASN) di dunia filologi tidak begitu banyak. Tetapi bukan berarti tidak ada pekerjaan yang terkait dengan manuskrip dan prasasti. Banyak sektor swasta yang juga terkait dengan dunia pernaskahan dan arkeologi. Ruang sunyi ini sebenarnya makin didukung oleh negara melalui beberapa program dari perpustakaan Nasional. Kita bisa mengakses banyak data melalui laman daring http://pernaskahan.perpusnas.go.id/public maupun menginstal aplikasi Ipusnas di telepon genggam. Secara khusus untuk mengetahui informasi candi kita bisa mengakses https://candi.perpusnas.go.id. Berbagai data ini bisa menjadi modal awal yang menarik, karena tidak semua bangsa memiliki khazanah manuskrip dan peninggalan arkeologis yang luar biasa. Tranformasi nilai, alih wahana, dan konten kreatif adalah ruang baru yang dimiliki generasi milenial untuk ambil peran dalam pertarungan wacana kebudayaan di masa depan.
Epilog
Bak anak panah, untuk melesat jauh ke depan maka dibutuhkan tarikan kuat ke belakang. Salah satu relasi teks filologi dan kajian arkeologis adalah sebagai data yang saling melengkapi. Sebagai contoh pelengkap sederhana data terkait candi-candi di Malang, tentu saya tidak akan menyajikan data kunjungan Raffles tahun 1811 yang termuat dalam History of Java volume II dalam sub Ruins at Singa Sari &etc In the District of Malang. Di tahun yang sama, putra mahkota kraton Surakarta, Amangkunegara III (yang kemudian menjadi Sunan Pakubuwono V) juga menuliskan tentang isi dari tanah Jawa, dalam sebuah naskah berjudul Suluk Tambang Raras atau yang lebih dikenal dengan judul Serat Centhini Kadipaten pada pupuh VI bermetrum Sinom. Naskah ini sekarang juga tersimpan lengkap di Perpustakaan Nasioanal, BPNB Yogyakata, dan perpustakaan Sanapustaka. Berikut sekilas nukilan naskah itu, mari kita tembangkan bersama-sama:
25. Wusira miyat grojogan | laju dènnira lumaris | ratri sipêng padhusunan | bakda Subuh mangkat malih | prapta ing Singasari | Radyan kèndêl lampahipun | umiyat candhi pelag | sela cêmêng wangun masjid | rinarêngga ingukir êlung pinatra ||
26. Mubêng pinagêran sela | supit urang gapura di | kiwa têngênning gapura | gupala kakalih sami | agêng ambêkta bindi | kadi jegang dènnya lungguh | maripat sakalapa | malolo siyungnya ngisis | ilat mèlèt tumumpang ing untu nyrangas ||
27. Sela wêtah tan sambêtan | wau Nikèn Rancangkapti | kagyat kalanira miyat | tanya mring raka sang pêkik | kakang dene mêdèni | kuwi uwong apa dudu | kalawan omah apa | kabèh watu kaya masjid | Jayèngsari mèsêm sarwi angandika ||
28. Iku yayi rêca sela | kang lir masjid aran candhi | ayo kakang padha miyat | aku dhêmên aningali | kaya mantènan bêcik |sapa kang akarya iku | sawusira umiyat | mêdal saking ing cêpuri | gya umentar kalangkung rêkasèng marga ||
29. Sang dyah ginendhong Ki Buras | praptèng tlatah dhusun Sisir | kèndêl rahadyan umiyat | sumbêr aran Sanggariti | we mêdal saking candhi | sela ingukir pinatut | kang sisih mijil toya | tawa asrêpnya nglangkungi | sisih mêdal toya angêt sawatara ||
30. Sang dyah siram gantya-gantya | kalamun karaos atis | marang toya ingkang panas | wus siram umentar malih | kasaput ratri mampir | mring dhukuh sipêng sadalu | byar enjang nulya bidhal | ing lampah mangkya wus prapti | dhusun Tumpang anon candhi alit endah ||
31. Kadi cungkup wawangunan | inggilira sawatawis | ngandhap kering linêbêtan | ing nglêbêt kalimis gasik | tilas asramèng rêsi | gandanira amrik arum | sang dyah tanya amring raka |kakang omah apa kuwi | kaya êrong ambune arum angambar ||
32. Apa panti pangratusan | (ng)gone (n)dèlèh jarik ngêndi | iku yayi candhi uga | pangiraku duking nguni | tilas patapan rêsi | kang amambu amrik arum | labêt kukusing dupa | nalika muja samadi | sang dyah angling kakang age kongkonnana ||
33. Buras gawanana arta | têlung dhuwit punjul sêdhit | sangonana têlung gobang | konên tuku ratus wangi | benjing yèn prapta panti | dak (ng)go olèh-olèh sibu | kalawan kanjêng rama | […] | sru sumêdhot kagagas wardayanira ||
34. Kèngêtan ing ibu-rama | miwah kadang kang lunga nis | mbarêbêl luh marawayan | Nikèn Rancang angusapi | ngandika kakang nangis | apa ta luwe wêtêngmu | dhuh rara nora lapa | kalilipên godhong jati | mata kiwa têngên padha damonana ||
35. Gupuh kalih dinamonan | kakang nêngaa manginggil | kangjêng rama nungang gajah | kêrise wilah sanyari | saiki uwis mari | katara pampêt êluhmu | Buras ge lumêbuwa | wus lumêbêt sorring candhi | tan pantara dangu mêdal bubutulan ||
36. Apa ta wis olèh Buras | dene gêlis banjur bali | o (n)dara uninganana | ing nglêbêt kapanggih sêpi | kang wontên amung mimik | agêngipun sajunêjun | sang dyah malih ngandika | apa tan nyakot sirèki | inggih (n)dara kang nyakot amung sasanga ||
37. Wis Buras ywa bali sira | (ng)gih bêndara kula ajrih | tamat dènnira mariksa | laju lampahira kampir | ing dhusun Kidhal nênggih | anon candhi alit bagus | ingukir gagambaran | wayang wanara mawarni | Rancangkapti pêgat dènnira mariksa ||[iii]
Kali ini tidak saya beri terjemahan, sekedar untuk menikmati isinya tanpa mengubah bahasanya. Akar yang kuat tentang pengetahuan Candi-candi di Malang dapat kita lacak melalui berbagai macam cara, tidak berhenti pada buku-buku sajian, tetapi juga seni literasi di Jawa. Literasi tentunya berkembang pada ruang yang lebih luas, seperti membaca tanda-tanda alam, gerak masyarakat, dll. Arus balik sedang terjadi seperti arus kebudayaan yang dibangun di suasana novel Arus Balik karya Pramodya Ananta Toer. Kita kadang-kadang hanya terbius pada romantisme keagungan masa lampau. Dibutuhkan pemuda-pemuda pemberani seperti Wiranggaleng untuk mengubah wajah peradaban, menuju sesuatu yang lebih baik. Selamat membaca, selamat berkaca, di ujung-ujung pembacaan maka akan melahirkan bacaan yang sudah tentu mengerucut pada otokritik diri.
Salam dan Bahagia.
Daftar Pustaka
Dwiyanto, D. (2018). Refleksi Penelitian Epigrafi dan Prospek Pengembangannya. Yogyakarta: Kepel Press.
Kempers, B. (1941). Wat is Archaeologie. In Tijdschrift voor Indische Tall-, Land-, en Volkenkunde (Vol. LXXXI). Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Künsten en Wetenschappen.
Kieven, L. (2017). Menelusuri Panji di Candi-Candi: Relief Fgur Bertopi di Candi-candi Zaman Majapahit. Jakarta: KPG-EFEO.
Marijke J. Klokke. (1993 ). The Tantri reliefs on ancient Javanese candi. Leiden: KITLV Press.
Sutrisno, S. (1981). Relevansi Studi Filologi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Zoetmulder, P.
(1994). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Vol. III).
Jakarta: Jambatan.
[i] Disampaikan dalam acara Pameran dan Seminar “Literasi Candi dan Perspektif Generasi Milenial” yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di kompleks Candi Badut Malang pada tanggal 16 November 2019.
[ii] Alumni Sastra Jawa UNS, Sedang merintis program amatir pengkajian Jawa Kuna dan Klasik untuk generasi muda melalui Komunitas Sraddha. Dapat dihubungi melalui laman surat elektronik kangrendraagusta@gmail atau pesan langsung Instagram @kangrendra.
[iii] Teks diambil dari alih wahan teks centhini yang diunggah dalam sastra.org, yang dikelola Yayasan Sastra Lestari Surakarta.
Inggih lêrês kang, kala wingi adhik ponakan kula nggih tanglet, “mbak, lagu lingsir wêngi ki ngge ngundang hantu to?”.
Padahal setahu saya kesan begitu hanyalah di film, dan setelah saya pastikan seaching di google juga arti lagu tersebut bisa saya sebut ‘bucin’ dan jauh dari kata seram.