
Sarwa Winates: Disiplin dan Batasan Ilmu Filologi
oleh Rendra Agusta
Bagaimanapun juga setiap ilmu dalam ranah akademik, punya batas-batas, baik ilmu-ilmu klasik hingga pasca modern. Ilmu filologi yang saya geluti sementara ini hanya fokus pada naskah-naskah Indonesia, secara khusus Jawa.
Saya mungkin menjadi kawan anda yang menjengkelkan ketika selalu menjawab pertanyaan dengan kalimat “barangkali perlu ada data pendukung”, “mungkin harus disandingkan data lain”. Bahkan sering juga saya selalu menambahkan pertanyaan “darimana naskahnya”, “disimpan di mana?”, “apakaah sudah dibaca keseluruhan teksnya?”, “bagaimana struktur bahasanya? ada ketidaklaziman atau tidak?”, “apa material tulisnya?”, “apakah sudah ada uji laboratorium atas material tulisnya?” dan seterusnya. Pasti saya selalu menjadi kawan diskusi yang menyebalkan. Akhir-akhir ini, ketika ada arus “digital humanities” merengkuh dunia pernaskahan, digitalisasi terjadi di mana-mana, saya selalu tanya “sejarah teks atau manuskripnya bagaimana?”, “sudah pernah tinggal di lingkungan manuskrip itu ditemukan?” dan seterusnya.
Alih-alih hanya untuk sekedar mengambil simpulan, sederet pertanyaan itu saya lontarkan kepada kawan-kawan semua, itu murni karena keterbatasan saya. Bagi saya, ilmu filologi mengajari saya untuk disiplin, setia, dan hati-hati dalam pengambilan kesimpulan. Lebih-lebih data-data yang akan dimanfaatkan ke dalam “nilai intersubjektif” kelompok tertentu, agaknya perlu berhati-hati. Saya tentu bukan sarjana teologi, yang umumnya memandang sebuah teks keagamaan sebagai satu hal yang absolut, kemudian diambil ranah hermeneutikanya atau tafsirnya untuk fungsi komunitas keagamaan tertentu.
Saya juga bukan sarjana filsafat, yang banyak memahami pemikiran, pun punya kecenderungan terkait kemungkinan-kemungkinan wacana. Walaupun, kedua ilmu itu, juga saya dudukkan sebagai ilmu bantu filologi untuk melengkapi. Saya juga bukan orang yang punya “ketajaman batin” atau “indra ketujuh yang mampu berpendapat hanya dengan merasakan energi ruang sekitar. Ilmu filologi mengajarkan adanya bukti material, untuk landasan imaterial. Ilmu yang saya tekuni sangat terbatas, ditambah lagi keterbatasan pemahaman saya, semata-mata agar bisa dipertanggungjawabkan kejujurannya di ranah akademik pun juga diuji publik.
Mohon maaf, seringkali saya menjadi kawan diskusi yang menyebalkan, bahkan sesekali pendapat saya yang memuat kejujuran teks yang fakta yang paling menyakitkan dan atau menyebalkan. Tak jarang pendapat dari kajian filologi cenderung dianggap berlawanan dengan apa yang diyakini kawan-kawan, saya mohon maaf. Makaten, renungan dan permohonan maaf saya di musim hujan Februari ini. Barangkali, ke depan, kita akan jumpa, dalam situasi yang menyebalkan kembali.