Mencari Tuhan pada Masa Jawa Kuna
manuk asukha-sukhan muṅgwing pang rāmya masahuran kadi papupul i saṅ wriṅ tattwādhyātmika maceṅil —
burung-burung riang gembira di atas ranting pohon, ramai bersahutan seperti perdebatan para cendekiawan untuk mencari kebenaran esoteris (tattwādhyātmika), begitu tulis Pu Tan Akung dalam teks śiwarātrikalpa.
— bahwa kebenaran dicari melalui penelusuran teks, tentu juga mencakup studi filologi adalah bagian dari pencapaian Hyang Widdhi melalui jalan Tantra.
Malam yang bahagia dalam program #Wruh Jawacana ke delapan, saya dijawil mas Paksi Raras Alit untuk menjadi pemantik bersama pak Sugi Lanus. Tentu, saya langsung “Yes! Gas!”, satu kebahagiaan tersendiri bisa menjadi pendamping beliau adalah guru saya menyoal tradisi Kawi yang berkembang di Bali utamanya.Wujud śisyabhakti ini diwujudkan dalam diskusi yang menarik menyoal “Tuhan dalam masyarakat Jawa Kuna”.
Diskusi makin menarik karena sebagian besar bukan pemeluk Siwa dan Buddha, pun juga bukan peneliti budaya Kawi pada masa lampau. — lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan yang menarik, seperti salah paham soal Tantra dalam opini publik, keberadaan hyang Taya yang dihadirkan secara serampangan dan ahistoris, simplifikasi kaum akademik terhadap ruang teologis Jawa Kuna dan berbagai pertanyaan lain yang sangat menarik.
Lalu pak Sugi Lanus hanya memberi gambaran mencapai ketuhanan dalam Jawa Kuna, ada dua jalan yang bisa ditempuh dalam mencapai “sakalaning niskala”, jalan sunyi atau jalan ramai — diskusi ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan yanf makin panjang.
Semoga segala yang baik berbiak Nantikan program Wruh selanjutnya ya kawan-kawan. rdr #ayosinaumaneh