
Membaca Ulang Raden Saleh
Membincang Raden Saleh bersama Dr. Werner Kraus
Raden Saleh Syarif Bustaman dikenal sebagai seorang pionir seni rupa modern di Indonesia (Hindia Belanda). Ia lahir di kalangan Arab-Jawa, putra dari Sayyid Husen bin Alwi bin Awal bin Yahya. Semasa kecil ia tinggal bersama pamannya, Sura Adimenggala, Bupati Semarang yang berkedudukan di Terboyo. Kemudian ia belajar melukis di Cianjur bersama Theodorus Bik dan Antoine Auguste J. Payen. Pada usia delapan belas tahun, kemudian ia melakukan perjalanan ke Belanda, belajar melukis. Setelah itu, Saleh tinggal di Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Tahun 1851, Raden Saleh kembali ke Jawa, bekerja sebagai konservator lukisan pada pemerintah kolonial. Selain itu Raden Saleh juga melakukan perjalanan “pulang” ke Jawa. Menemui keluarganya di Semarang dan Salatiga, melukis Sultan Hamengkubuwono VI, melukis penangkapan Diponegoro, melakukan pendakian gunung Merapi, mencari fosil dan mengkoleksi manuskrip Jawa. Raden Saleh juga mempunyai dua kali pernikahan, satu dengan orang Eropa – Nyonya Constancia Winckelhaagen, satunya dengan orang Jawa. Hidup dalam pelbagai lintasan ini tentu tidak mudah dalam diri Raden Saleh. Orang yang “sangat maju” dalam pemikiran, tetapi ia terjebak di dalam kondisi Jawa yang saat itu kurang menguntungkan bagi orang berkulit “Sawo Matang”. Sejak lahir, Raden saleh menjadi “Manusia di Antara”, lahir dari keturunan Arab-Jawa, hidup di antara Kebudayaan Sunda, Jawa, dan tentu Eropa. Seperti ucapan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing “Cina wurung, Jawa Nanggung, Landa Durung”. Tentu kehidupan demikian sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan, pemikiran, dan kekaryaan Raden Saleh. Dalam Program Diskusi #SakMadya 2 ini kita membahas bagaimana kehidupan Raden Saleh, kehidupan dan karyanya. Selain itu, diskusi ini juga akan membahas pergolakan ruang seni pada masa akhir pemerintahan Belanda dan Masa Revolusi.
Diskusi dibuka dengan pemutaran film animasi Diponegoro 1830 karya Subiyanto, sebuah karya yang diinisiasi berbasis alih wahana lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh. Selanjutnya, Werner Kraus, Kurator dan akademisi asal Jerman ini telah lebih dari 20 tahun mempelajari dan meneliti karya-karya Raden Saleh. Salah satu karya yang pentingnya adalah buku “Raden Saleh, Kehidupan dan karyanya” yang diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2018. Membincang Pengaruh lintasan keluarga Arab-Jawa, tinggal di antara Jawa dan Eropa, dalam kehidupan dan kekaryaan Raden Saleh. Selain itu, Rendra Agusta, salah satu peneliti manuskrip Sraddha Institute memberi catatan awal tentang lukisan dari Babad Pesanggrahan-Pesanggrahan Kraton Surakarta Abad XIX-XX. Diskusi dilanjutkan paparan Fatih Abdulbari mengenai perubahan dan gaya seni lukis pada masa Revolusi kemerdekaan Indonesia.
Bagian akhir dari diskusi yang menarik adalah ketika pak Werner Kraus mengajak kita berefleksi tentang lukisan “Banjir di Jawa” — dari lukisan tersebut, Raden Saleh membuat satu pameran yang digunakan sebagai bagian galang dana untuk bencana banjir di Banyumas. Selain itu, lukisan ini juga mengisahkan ketika ada bencana melanda tanah air, maka hanya diri kitalah yang bisa menyelamatkan dan mengupayakan keselamatan diri — bukan para penguasa yang nun jauh di Belanda sana. Tentu hal ini menjadi satu refleksi, terlepas dari aturan-aturan keindahan seni lukis yang anatomik, penuh dengan eksplorasi warna, ada satu hal yang penting direnungkan, “bagaimana peran seni umat manusia untuk rasa kemanusiaan?”. Ayo sinau maneh!rdr